Ini adalah kisah nyata, tentang wanita hebat bernama Ibu...
Ibu adalah seorang anak perempuan, anak ke-6 dari 9 bersaudara. Orang tuanya bisa dikatakan berkecukupan, sawahnya ada dimana-mana dan jumlahnya cukup untuk dibagikan kepada semua anaknya. Di tahun 60an, Ayahnya bahkan sudah mendirikan madrasah di desanya, santrinya pun banyak dan dari mana-mana.
Ibu adalah anak terpandai di keluarganya, selain itu dia juga dikenal baik hati, suka menolong, dan ramah. Wajahnya pun cantik, senyumnya manis, tubuhnya mungil, dan kulitnya sawo matang, khas gadis desa yang terawat.
Saat Ibu mulai masuk Sekolah Menengah Pertama, saat itulah kisah ini dimulai.
Singkat cerita,
Ibu adalah siswa terbaik di sekolahnya. Sekolah Ibu kala itu adalah satu-satunya sekolah di kecamatan, dan siswanya pun bukan hanya dari satu kecamatan, tapi juga dari kecamatan tetangga, karena di kecamatan asal mereka yang belum ada sekolah. Kendaraan paling umum saat itu adalah dokar, jumlah angdes (angkutan desa) masih sangat jarang. Ibu ke sekolah dengan menggunakan sepeda, beruntung jarak rumah Ibu tidak begitu jauh, hanya sekitar 5 km dari sekolahnya. Ada teman Ibu yang jaraknya rumahnya ke sekolah sama dengan jika saat ini bersepeda motor dengan jalan yang sudah aspal mulus saja membutuhkan waktu sekitar 30 menit., dan teman Ibu hanya bersepeda dengan jalan bebatuan.
Ibu, sosok yang pandai, sederhana, dan cukup cantik untuk ukuran sekolah pelosok, sekolah yang prestasinya di tingkat kabupaten saja masih diragukan. Demikian sosok Ibu, hingga akhirnya Ibu dipercaya sekolah untuk mengikuti kejuaraan siswa teladan di tingkat kabupaten. Sekolah dan Ibu tidak berharap banyak, apalagi mengetahui bahwa lawan dari sekolah di kota tentu akan lebih unggul dari Ibu. Tapi Ibu bukanlah orang yang pesimis, setiap sesia penilain dia lakukan dengan sepenuh hati dan sebisa mungkin. Dan siapa sangka, Ibu mampu meraih juara 1 siswa teladan di kabupatennya. Mana mungkin juara siswa teladan berasal dari sekolah pelosok? Demikian kira-kira gumam para guru yang mengajar di sekolah kota.
Seperti kejuaraan-kejuaraan pada umumnya, maka Ibu berhak mewakili kabupaten untuk selanjutnya berkompetisi ke tingkat provinsi. Ibu pun dikirim untuk mengikuti karantina di sebuah kota besar selama beberapa hari. Selama dikarantina, Ibu sudah mengupayakan segalanya, yang terbaik! Tapi nampaknya si gadis desa, tak begitu paham dengan teknologi kekinian, dia tidak lancar mengetik mesin tik, tidak seperti lawan-lawannya yang sudah mahir menggunakan mesin tik karena memang sebagian besar dari mereka adalah remaja kota. Ibu pun akhirnya kalah, pulang meninggalkan kota besar itu, kembali ke kampungnya, di pelosok.
Ibu kini merupakan gadis kebanggaan sekolahnya, terlebih sejak Ibu meraih predikat siswa teladan tingkat kabupaten itu. Kala itu, memang bukan jamannya siswa SMP berpacaran, tapi pasti banyak teman lelaki Ibu yang menaruh hati padanya. Pasti.
Bagaimana jika bukan hanya teman lelaki Ibu saja yang menaruh hati? Bagaimana jika guru lelakinya pun juga menaruh hati pada Ibu?
Sosok kedua dalam kisah ini muncul, dan diberi nama Ayah.
Ayah adalah bujang pendatang yang mencari kerja sebagai guru ke sekolah pelosok, karena pelosok memang tempat yang tepat untuk mencari kerja. Ayah sosok yang dikenal baik oleh teman rekan kerjanya sebagai orang yang giat. Diam-diam, Ayah menyukai muridnya sendiri, yaitu Ibu. Tapi, tentu saja ini menjadi rahasianya sendiri.
Tidak terasa, Ibu sampai pada masa kelulusan, melalui jalur PMDK dia diterima di SMA favorit yang ada di kota. Ibu sudah siap menjadi murid SMA.
Lantas, bagaimana dengan Ayah? Apa dia harus kehilangan murid yang telah membuatnya jatuh hati? Oh nasib baik, berpihaklah padaku, demikian pikir Ayah. Pikiran Ayah terlalu kalut, terlalu banyak kemungkinan yang dia pikirkan jika Ibu tidak segera dimilikinya. Bagaimana kalau Ibu disukai oleh teman lelakinya yang dari kota? Bagi Ayah itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi, mengingat pesona Ibu yang terlalu, bahkan gurunya (baca: dia) pun sampai tertarik.
Ayah memutuskan mengambil langkah tegas. Sebagai lelaki, 24 tahun, memiliki pekerjaan tetap, dan jatuh cinta, Ayah menganggap bahwa dirinya sudah memiliki modal yang cukup untuk melamar seorang anak gadis. Dengan keteguhan tekad, Ayah mendatangi rumah orang tua Ibu dan mengutarakan keinginannya untuk melamar Ibu.
Ayah tampaknya egois.
Yang benar saja, haruskah Ibu menghentikan langkahnya? Prestasinya? Cita-citanya? Mimpi-mimpinya? Tidak ada yang lebih diinginkan Ibu saat itu, selain membanggakan orang tuanya.
Orang tua Ibu menyampaikan soal lamaran Ayah kepada Ibu. Mereka tidak ingin memaksa anak gadisnya yang baru saja lulus SMP untuk segera menikah, tidak! Mungkin lebih tepatnya, seperti sales yang menawarkan barang dagangannya kepada konsumen, barangkali Ibu minat? Kurang lebih seperti itu.
Diakhir tahun 70an, menikah di usia lulus SMP sangatlah lumrah. Bahkan, kakak Ibu ada yang menikah di usia lulus SD. Menjadi anak keenam, semua kakak-kakak Ibu memang sudah menikah, kecuali kakak yang tepat satu tingkat di atasnya, belum menikah dan bersekolah di SMA favorit di kota tempat Ibu akan bersekolah juga.
Apa yang akan lebih membanggakan orang tua Ibu, itulah yang akan dia jalani. Menikah atau bersekolah?
Ayah memang egois!
Mengatasnamakan cinta, dia hancurkan mimpi seorang gadis desa. Demikian mungkin yang akan orang-orang katakan. Namun di dalam hati Ayah, dia juga mempunyai mimpi besar bersama gadis pujaannya. Janjinya, dia tidak akan membuat Ibu menyesal jika lamarannya diterima.
Bersambung...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "[Cerita] Wanita Hebat itu Ibuku.. (1)"
Posting Komentar